PRABUMULIH, FAJARSUMSEL.COM – Hidup memang kadang berputar cepat. Hari ini disanjung, besok bisa terpuruk. Begitulah nasib yang kini menimpa tiga Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Prabumulih yang kini duduk di kursi pesakitan akibat kasus dugaan korupsi dana hibah Pilkada 2024.
Mereka adalah MD, Ketua KPU Prabumulih yang sebelumnya menjabat PNS di Pemkab OKU Selatan; YA, Sekretaris KPU Prabumulih; dan SH, Bendahara sekaligus PPTK KPU. Tiga nama ini kini bukan lagi dikenal sebagai penyelenggara pemilu yang sibuk menyiapkan logistik dan pleno, melainkan sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah senilai Rp 26 miliar.
Dari jumlah itu, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 6 miliar. Kini, mereka harus menanggung konsekuensi hukum dan menghadapi kenyataan pahit — bukan hanya kehilangan kebebasan, tapi juga kemungkinan kehilangan status sebagai abdi negara.
Dari Ruang Rapat ke Balik Jeruji
Masih hangat dalam ingatan bagaimana MD tampil percaya diri ketika dilantik sebagai Ketua KPU Prabumulih pada 20 Januari 2024. Hampir dua tahun ia menahkodai lembaga penyelenggara pemilu itu. Bersama empat komisioner lainnya, mereka sukses menyelenggarakan Pileg 2024 dan Pilkada Prabumulih 2024.
Namun, kesuksesan itu justru menyisakan noda hitam. Di balik laporan pertanggungjawaban dana hibah Pilkada, penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Prabumulih menemukan kejanggalan.
“Ada sekitar 20 item kegiatan sosialisasi yang diduga mengalami mark up anggaran,” ungkap Kasi Pidsus Kejari Prabumulih, Safei SH MH, saat ditemui awak media.
Modusnya, lanjutnya, penyalahgunaan anggaran dengan cara menaikkan nilai kegiatan sosialisasi yang tidak sesuai ketentuan. “Kerugian negara sekitar enam miliar rupiah. Dan penyidik masih terus mendalami kemungkinan adanya tersangka baru,” tambahnya.
Status PNS Terancam, Masa Depan Suram
Di balik jeruji besi Rutan Prabumulih, tiga ASN ini kini menatap masa depan yang suram. Jika pengadilan kelak memutus bersalah, status mereka sebagai PNS akan otomatis dicabut. Artinya, pengabdian belasan hingga puluhan tahun mereka di pemerintahan akan berakhir sia-sia.
“Sudah jatuh, tertimpa tangga,” begitu istilah yang tepat menggambarkan nasib mereka. Tidak hanya kehilangan kebebasan, tapi juga kehilangan pekerjaan dan penghasilan tetap.
Bagi keluarga, tentu ini menjadi pukulan berat. Anak-anak mereka mungkin masih bersekolah, dan pasangan mereka kini harus menanggung beban ekonomi sendirian. Dari sosok terhormat menjadi tahanan, dari pengabdi negara menjadi tersangka — peralihan status yang begitu cepat dan menyakitkan.
Teguran Keras Bagi ASN
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh ASN, khususnya mereka yang mengelola anggaran negara. Jabatan bukanlah tameng, dan tanggung jawab atas uang rakyat menuntut integritas tinggi.
Kejari Prabumulih memastikan proses hukum berjalan transparan dan profesional. “Tidak ada kompromi dalam penegakan hukum. Semua yang terlibat akan kami tindak sesuai bukti yang ada,” tegas Safei.
Kini, publik menanti akhir dari kisah ini. Apakah ketiganya akan dijatuhi hukuman berat, atau masih ada kesempatan untuk menebus kesalahan di pengadilan nanti.
Yang jelas, perjalanan tiga ASN ini menjadi cermin getir tentang rapuhnya integritas bila tergoda oleh kuasa dan uang. (rin)