Ridho Yahya. Foto : Ist/FS.CO
KETIKA Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, beliau menawarkan jabatan Gubernur kepada sang periwayat hadits tersebut, Abu Hurairah. Umar kemudian menyuruh staffnya memanggil Abu Hurairah ke istana.
“Wahai Abu Hurairah terima kasih sudah menghadiri undanganku. Bersediakah Anda saya angkat menjadi Gubernur Bahrain?” Tanya Umar.
Abu Hurairah menjawab: “Saya ditunjuk menjadi Gubernur Bahrain? Apalah arti seorang Abu Hurairah, ahlus suffah yang tinggal di masjid. Tidak ada makanan yang mengisi perutnya kecuali beberapa butir kurma. Tidak punya rumah tempat berteduh kecuali beratap teras masjid. Dan sekarang diminta menjadi Gubernur Bahrain?”
Umar pun menjawab: “Wahai Abu Hurairah, saya melarang anda terlalu banyak meriwayatkan hadits agar orang-orang tidak begitu disibukkan dengan hadits dan lupa al Qur’an. Karena itu, saya tugaskan anda menjadi Gubernur Bahrain.”
Mendengar tawaran sang Khalifah, Abu Hurairah berfikir sejenak hingga akhirnya beliau menyanggupinya dan menjawab dengan tegas, “Sami’na wa atha’na ya amiirul mukminin.”
Sesaat kemudian, Umar memerintahkan staffnya untuk mencatat harta kekayaan Abu Hurairah. Kondisi inilah yang kembali mengejutkannya. Mungkin kita bertanya, harta mana lagi yang harus di data dari kekayaan Abu Hurairah? Padahal kita tahu bahwa kehidupan Abu Hurairah sangat sederhana. Hidupnya beratap masjid.
Abu Hurairah pun mengajukan pertanyaan lagi. “Wahai Amirul Mukminin, untuk apa Anda mendata harta saya?” Umar kembali menjelaskan: “Beginilah saya memperlakukan para pejabat. Kami catat semua kekayaannya sebelum menjadi pejabat. Nanti setelah selesai menjabat, kekayaannya juga kami data. Jika terjadi tambahan yang tidak wajar, maka harta itu kami ambil untuk dikembalikan ke Baitul Mal. Adapun haknya kami berikan sesuai kelayakan.”
Abu Hurairah kembali bertanya;
“Kalau begitu, engkau mencurigai kami jika kami melakuka kecurangan?”
Umar pun menjawab:
“Kalau sejak awal saya curiga, tentu saya tidak akan mengangkatmu menjadi gubernur. Ini sekedar untuk menghilangkan keraguan dan buruk sangka. Sebab, saya lihat beberapa pejabat mempunyai harta yang meningkat drastis sejak mereka menjabat dan melebihi gaji yang semestinya. Mungkin saja itu didapat dengan cara halal, berbisnis misalnya.”
“Bukanlah bisnis itu juga halal Amirul Mukminin?” Sahut Abu Hurairah.
Umar kembali menjawab: “Bisnis itu halal. Tapi saya tidak mengizinkan pejabatku berbisnis. Tugas mereka sebagai pejabat untuk mengatur masyarakat dengan adil. Kalau mereka berbisnis juga, saya khawatir tugas kewajibannya akan terbengkelai. Masyarakat juga akan segan dan ragu sehingga khawatir muncul ketidakadilan. Beginilah caraku memperlakukan semua pejabat. Siapa yang setuju silakan. Jika tidak setuju tinggalkan.” (Hepi Andi Bastoni, Antara Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid, Bogor: Pustaka al Bustan, 2015: 32-34).
Hikmah Kisah
Subhanallah begitu hati-hatinya Khalifah Umar bin Khattab dalam menyeleksi kriteria seorang pejabat Gubernur. Beliau tidak gegabah dalam memilih calon pejabat. Beliau menyadari bahwa peran dan tanggung jawab gubernur tidaklah ringan. Perlu tenaga dan fikiran yang ekstra.
Dari kisah di atas, paling tidak ada dua pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kebijakan Umar Sang Khalifah.
PERTAMA, pendataan kekayaan calon pejabat yang akan diangkat. Inilah yang kemudian disebut dengan transparansi. Transparansi adalah salah satu nilai mulia anti korupsi. Hal ini dilakukan untuk menekan dan memperkecil peluang korupsi berikut money laundering yang dilakukan oleh pejabat.
Meskipun Abu Hurairah sendiri yang tidak diragukan lagi kualitas keimanannya, mau tidak mau harus rela ketika harta yang dimilikinya diaudit oleh staff istana.
Ternyata kebijakan Umar bin Khattab ini bukan saja diterapkan kepada Abu Hurairah saja. Semua pejabatnya juga diperlakukan sama tanpa terkecuali. Termasuk para sahabat terkemuka Rasul seperti Khalid bin Walid, Saad bin Abi Waqash maupun Amr bin Ash ketika diangkat menjadi pejabat.
KEDUA, melarang para pejabat berbisnis.
Jika para pejabat berbisnis dikhawatirkan mereka asyik dan terlena berbisnis sehingga melalaikan tugas pokoknya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, pejabat bisa saja memonopoli bisnis. Proyek-proyek negara akan dikelola sendiri untuk memperbesar usahanya. Disinilah peluang money laundering akan muncul.
Kebijakan Sang Khalifah ini tidak hanya diberlakukan kepada para pejabatnya saja. Keluarganya pun tidak luput dari perhatian Umar. Suatu ketika Abdullah bin Umar (anaknya) pernah berbisnis. Akan tetapi modalnya bukan dari uang pribadi, melainkan diberikan oleh Abu Musa al-Asyari (salah seorang Gubernur dibawah pemerintah Umar) yang diambil dari kas negara. Bisnisnya pun maju pesat dan menguntungkan.
Melihat kondisi ini, Umar melarang anaknya mengambil keuntungan tersebut dan memerintahkan untuk mengembalikannya ke kas negara. Sempat terjadi perdebatan, hingga akhirnya diambil jalan tengah. Hasil keuntungannya dibagi dua, sebagian untuk Abdullah bin Umar dan sebagian lagi dikembalikan ke Baitul Mal.
Demikianlah bukti sikap ketegasan dan kehati-hatian seorang Khalifah Umar bin Khattab. Umar dengan segala kewenangan dan kekuasaannya yang dimiliki, tidak mau memanfaatkan jabatan dan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, golongan apalagi keluarganya. Justru sebaliknya, Umar mendedikasikan dirinya untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan umat.
Inilah sejatinya sosok Umar bin Khattab, salah seorang pemimpin anti korupsi yang dikenal sejarah. Mudah-mudahan kisah kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.
Wallahu a’lam.
Penulis buku “Selamatkan Generasi Bangsa Dari Virus Korupsi“. DakwahBilQolam