Oleh Arliansyah, SH, MH.
KONSEP Negara hukum yang dijamin secara konstitusional dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disepakati bersama oleh para pendiri negara (founding fathers) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan salah satunya dengan cara membatasi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
Namun, realitas penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan penegakan hukum (law enforcement) masih belum berjalan dengan baik dan optimal, terbukti dengan semakin maraknya tindak kekerasan dan konflik sosial dalam masyarakat dan semakin tingginya tingkat kriminalitas termasuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic Body).
Kebijakan hukum pidana sebagai suatu usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi langkah untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief, upaya pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Karena itu pembaruan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi kebijakan (policy oriented approach) dan nilai (value oriented approach) sekaligus.
Penulis melihat kebijakan hukum pidana dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sudah seharusnya diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia pada masa yang akan datang. Konsep kebijakan hukum pidana yang mengutamakan keseimbangan antara pengembalian aset yang dikorupsi dan penjatuhan hukuman penjara menjadi pilihan hukum atau politik hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi walaupun menjadi perdebatan efektifitas penegakan hukum tersebut.
Pembaruan hukum acara perdata terkait dengan tindak pidana korupsi menjadi suatu hal yang menarik. Hal ini sejalan dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 2 tahun 2022 tentang tata cara penyelesaian keberatan pihak ketiga yang beritikad baik terhadap putusan perampasan barang bukan kepunyaan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi, telah mengakomodir kepentingan masyarakat terkait Hak Asasi dalam bidang hukum.
Sajipto Rahardjo berpandangan bahwa hukum akan memiliki nilai atau makna jika hukum tersebut mengabdi pada kepentingan manusia, yaitu bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, serta memberi manfaat bagi manusia. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat merespons berbagai kebutuhan atau kepentingan manusia, atau hukum yang ideal adalah hukum yang responsif.
Sifat responsif artinya melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan di dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka integrasi nilai-nilai yang hidup dan masih dipertahankan di dalam masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat ke dalam hukum Negara diperlukan dalam rangka memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kota Prabumulih (kota Nanas) yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Prabumulih, pernah dilakukan permohonan keberatan terhadap putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum (inkrah) dan telah di eksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum.
Permohonan keberatan tersebut dikarenakan meninggalnya terdakwa sebelum dibacakan putusan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi saat proses penuntutan di pengadilan tindak pidana korupsi sehingga hakim majelis yang menyidangkan perkara tindak pidana korupsi tersebut mengeluarkan penetapan perkara tersebut gugur.
Terdapat permasalahan terkait uang titipan sebsar Rp 430.000.000,- (empat ratus tiga puluh juta rupiah) yang dinyatakan merupakan hasil kejahatan sebagai pembayaran uang pengganti kerugian negara bentuk pengakuan terdakwa bahwa telah menikmati hasil kejahatan dengan harapan terdakwa mendapatkan keringan tuntutan dan putusan karena telah mengaku dan bersikap kooperatif dalam proses persidangan.
Selanjutnya karena terdapat perkara lanjutan (splitsing) dalam perkara yang sama dengan pelaku yang berbeda, dalam proses penyidikan Jaksa pada Kantor Kejaksaan Negeri Prabumulih mengambil tindakan untuk melakukan penyitaan terhadap uang tersebut untuk dijadikan barang bukti guna memperkuat pembuktian pada perkara lanjutan.
Sesuai dengan KUHAP Pasal 39 ayat (1) huruf e yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Sehingga berdasarkan keputusan pengadilan terhadap perkara lanjutan uang sebesar Rp 430.000.000,- (empat ratus tiga puluh juta rupiah) di rampas untuk negara sebagai pembayaran uang pengganti kerugian keuangan Negara.
Terhadap putusan tersebut Anak terdakwa mengajukan permohonan keberatan sebagai pihak ketiga yang beritikad baik merasa dirugikan terhadap putusan pengadilan yang menyatakan uang tersebut di Rampas Untuk Negara sebagai pembayaran uang pengganti kerugian keuangan Negara.
Pemohon menyatakan bahwa uang sebesar Rp 430.000.000,- (empat ratus tiga puluh juta rupiah) bukan milik terdakwa (ayah pemohon yang telah meninggal). Terhadap permohonan keberatan tersebut setelah melalui proses pemeriksaan persidangan pengadilan memutuskan menolak keberatan yang diajukan pemohon, dan menyatakan pemohon bukan pihak ketiga yang beritikad baik dan menyatakan penyitaan serta eksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sah.
Dari contoh kasus diatas terlihat pembaruan hukum yang mengakomodir kepentingan masyarakat sebagai respon dalam melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan dalam masyarakat. Secara umum, Hukum perdata mengenal dua gugatan. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata dinyatakan bahwa gugatan Wanprestasi didasarkan pada perikatan yang lahir karena suatu perjanjian, sedangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum didasarkan pada perikatan yang lahir karena suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.
Subjek dari hukum perdata tersebut adalah manusia dan badan hukum sehingga diluar dari subjek hukum tersebut belum dapat diakomodir apabila terdapat permasalahan, sehingga sebagai bentuk pembaruan hukum Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA nomor 2 tahun 2022 tentang tata cara penyelesaian keberatan pihak ketiga yang beritikad baik terhadap putusan perampasan barang bukan kepunyaan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.
Penulis berpandangan untuk dapat dikabulkannya permohonan keberatan pihak ketiga yang beritikad baik harus dibangun kostruksi hukum bahwa pemohon harus sebagai subjek pihak ketiga yang beritikad baik.
Secara literatur pihak ketiga yang beritikad baik diatur dalam hukum perdata, dalam lingkup perjanjian misalnya Merujuk Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dapat di pahami bahwa perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak harus dilaksanakan sesuai kepatutan dan keadilan, sehingga argument yang harus dipedomani dan dibangun apakah sesuatu hal tersebut patut dan bagaimana argument dari sisi keadilan sehingga para pihak dapat dikatakan beritikat baik.
Lebih lanjut Pasal 1339 KUHPerdata, Pasal itu menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,”.
Dilihat dari hukum pidana “Pihak Ketiga Yang Beriktikad Baik”, dalam undang-undang tindak pidana korupsi dalam Pasal 19 ayat (1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan. Ayat (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Konvensi PBB tahun 2003 yang diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 juga memuat kewajiban negara melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. Dapat dipahami konvensi ini menyebutkan negara wajib mengatur dengan cara membuat aturan hukum yang melindungi pihak ketiga yang beritikad baik dalam perkara tindak pidana korupsi.
Selain itu juga terdapat Putusan MK No.021/PUU-III/2005, yang pada intinya menyatakan bahwa setiap perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, dan perlindungan atas hak milik pihak ketiga yang beritikad baik. “Dengan merujuk pertimbangan hukum putusan MK tersebut, jelas perampasan harta kekayaan pihak ketiga yang melanggar prinsip due process of law, melanggar hak asasi (hak milik) dan bentuk ketidakadilan,”. (*)