Beli Sabu Rp 80 Ribu, Sempat Dibuang

Sepenggal Kisah Penangkapan Pemuda Prabumulih Terjerumus Kasus Narkoba

Siang itu, Rabu, (24/9/2025), Jalan Alipatan, Kelurahan Sidogede, Prabumulih Utara, tampak seperti biasanya. Lalu-lalang kendaraan dan aktivitas warga berjalan normal. Namun, di balik rutinitas yang terlihat tenang, aparat Satresnarkoba Polres Prabumulih tengah mengintai gerak-gerik seorang pemuda.

Pemuda itu, SFAK (19), masih belia, wajahnya barangkali masih akrab dengan meja sekolah beberapa tahun lalu. Namun sore itu, masa depan yang harusnya terbuka lebar justru dibayangi jeratan narkoba.

Dari Informasi Warga ke Aksi Penangkapan

Menurut Kapolres Prabumulih, AKBP Bobby Kusumawardhana SH SIk MSi melalui Kasatrew Narkoba, Iptu Muhammad Arafah SH, penangkapan ini bermula dari informasi masyarakat. Warga resah dengan dugaan adanya transaksi narkoba di sekitar lokasi tersebut.

Tim kecil yang dipimpin Kanit Idik II, Aiptu Julius S, segera turun ke lapangan. Begitu SFAK muncul dengan sepeda motor Honda Vario merah hitamnya, polisi langsung bergerak.

Sempat panik, SFAK berusaha membuang barang bukti. Namun, gerakan tangannya kalah cepat dari pengamatan mata terlatih aparat. Sebungkus kecil sabu, seberat bruto 0,23 gram, berhasil diamankan.

Harga Murah, Taruhannya Nyawa

Dalam pemeriksaan, SFAK mengaku sabu itu miliknya. Ia membelinya dari seseorang berinisial B (kini masuk daftar pencarian orang/DPO) seharga Rp 80 ribu. “Hanya untuk dikonsumsi sendiri,” begitu pengakuannya.

Delapan puluh ribu rupiah. Jumlah mungkin setara dengan ongkos makan dua kali di warung, atau sekadar tiket menonton film di bioskop. Murah, tetapi taruhannya besar: masa depan, kesehatan, dan bahkan kebebasan.

Tes urine memastikan dugaan polisi: SFAK positif mengonsumsi narkoba. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka pengguna, dijerat Pasal 112 ayat (1) atau Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika No 35/2009.

Potret Generasi Muda Rapuh

Kasus ini bukanlah pertama di Prabumulih, dan bukan pula terakhir. Di balik setiap penangkapan, tersimpan ironi: mengapa narkoba begitu mudah masuk ke ruang hidup anak-anak muda?

SFAK hanyalah satu dari sekian banyak remaja terperangkap. Lingkungan, pergaulan, rasa ingin tahu, hingga tekanan hidup sering kali menjadi pintu masuk. Harga narkoba kian terjangkau membuatnya semakin berbahaya.

Di satu sisi, aparat bekerja keras memberantas peredaran. Namun di sisi lain, masih ada sindikat yang lihai memanfaatkan kelengahan dan kelemahan anak-anak muda.

Refleksi Sosial: Bukan Hanya Urusan Polisi

Perang melawan narkoba sering dipahami sebatas urusan aparat: tangkap, proses hukum, selesai. Padahal, di balik itu, ada PR besar bagi masyarakat. Bagaimana orang tua mengawasi anak? Bagaimana sekolah memberikan pendidikan karakter? Bagaimana komunitas menciptakan ruang aman untuk remaja menyalurkan energi dan rasa ingin tahunya?

Kasus SFAK menyadarkan kita bahwa ancaman narkoba bukan hanya cerita besar di kota metropolitan. Bahkan di kota kecil seperti Prabumulih, ia bisa merenggut generasi harapan.

Menutup Catatan: Jalan yang Masih Panjang

Hari itu, SFAK dibawa ke kantor polisi. Sepeda motor, sabu 0,23 gram, dan kunci kontak menjadi barang bukti yang ikut disita. Namun di luar ruang penyidikan, cerita ini sesungguhnya lebih besar daripada sekadar penangkapan.

Cerita tentang anak muda yang terjebak, tentang keluarga yang mungkin hancur, tentang masyarakat yang harus lebih peduli, dan tentang negeri yang tak boleh menyerahkan generasinya pada barang haram bernama narkoba.

Di Prabumulih, di Sidogede, atau di mana pun, kisah ini bisa terulang. Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan narkoba mencuri masa depan anak-anak muda kita?