UNDANG-UNDANG TPKS SEBAGAI ALAT PENDOBRAK PATRIARKI

  • Bagikan

Oleh : Alfina Armando Parensyah, S.H., M.H.

SECARA Sederhana, law as a tool of social engineering adalah hukum sebagai alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat. Istilah law as a tool of social engineering dicetuskan oleh Roscoe Pound yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat di mana hukum diharapkan dapat berperan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Pound sebagai penganut aliran Sociological Jurisprudence berpendapat bahwa hukumlah yang seharusnya menjadi instrumen/alat untuk mengarahkan masyarakat menuju pada sasaran yang hendak dicapai, bahkan jika diperlukan hukum dapat digunakan untuk menghilangkan berbagai kebiasaan masyarakat yang bersifat negatif. Dalam praktek pemerintahan di Indonesia konsep law as tool of social engineering diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa, hukum di Indonesia tidak cukup berperan sebagai alat, melainkan juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat.


Kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus segera dimusnahkan. Dalam kulminasi ini, yang rentan menjadi korban adalah anak dan perempuan. Di sisi lain, penanganan kejahatan kekerasan seksual seringkali menyerang korban. Selain dari penangananan yang tidak berperspektif korban, kesadaran masyarakat maupun aparat penegak hukum mengenai pemulihan korban masih sangat minim.

Beberapa masyarakat masih ada yang beranggapan bahwa korban kekerasan seksual justru merupakan sebuah aib dan kerapkali menyalah korban atas apa yg menimpanya. Sedangkan peran penting masyarakat dan aparat penegak hukum dalam upaya pemulihan korban dan penanganan kekerasan seksual sangat dibutuhkan.


Problematika seperti ini terjadi karena kita hidup dalam belenggu budaya patriarki, yaitu sering memberikan sikap permisif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Terlebih bentuk kekerasan seksual memiliki jenis yang beragam. Contoh yang menjadi hal problematika dalam kasus kekerasan seksual, diantaranya pada kasus pemerkosaan sering kali pelaku diberi hukuman sangat ringan bahkan ditutup dengan dalih perdamaian hingga menikahkan korban dengan pelakunya. Memaksakan perkawinan terhgadap perempuan dengan latar ekonomi maupun budaya menjadi hal yang dilumrahkan, bahkan terhadap anak di bawah umur sekalipun. Pelecehan-pelecehan baik fisik maupun non fisik seolah suatu hal yang wajar diterima oleh perempuan karena bagaimana ia berpenampilan.

Sebab adanya belenggu budaya patriarki tersebut maka tindak kekerasan seksual selalu terjadi. Oleh karena itulah persoalan tersebut tidak mampu mengubah budaya untuk meminimalisir tindakan kekerasan seksual di Indonesia. Untuk mengubah budaya dari budaya patriarki memang bukan suatu hal yang mudah, namun mengubah budaya itu perlu dilakukan.


Upaya pemerintah untuk merubah budaya patriarki yang cenderung merugikan perempuan dan melanggengkan praktek kekerasan seksual di masyarakat salah satunya dalah dengan menyempurnakan instrumen peraturan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana sekaligus menyelenggarakan pemenuhan hak-hak atas korbannya, yaitu dengan di sahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai alat pembaharuan masyarakat di mana hukum diharapkan dapat berperan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Karena hukumlah yang seharusnya menjadi instrumen/alat untuk mengarahkan masyarakat menuju pada sasaran yang hendak dicapai, bahkan untuk menghilangkan berbagai kebiasaan masyarakat yang bersifat negatif terkait kekerasan seksual di masyarakat.


UU TPKS menyediakan kebaruan pengertian definisi kekerasan seksual yang lebih rinci, dan konsep mekanisme penanganan serta pelindungan yang lebih kongkrit bagi pemuliaan korban kekerasan seksual. Selain mengakomodir bentuk-bentuk ke kerasan seksual yang sebelumnya diatur dalam KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-Undang PKDRT, Undang-undangn ITE serta Pronografi, UU TPKS juga merumuskan 9 (sembilan) jenis tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya belum diatur yakni, pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.

Dengan adanya pengaturan yang spesifik mengenai ruang lingkup ini dapat dimaknai bahwa UU TPKS hendak mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam perbuatan tindak pidana, namun sebelumnya tidak diatur di dalam KUHP maupun undang-undang lain. Ketentuan yang demikian ini menunjukkan bahwa UU TPKS merupakan wujud hadir pemerintah dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan. Berbeda halnya dengan KUHP yang memandang bahwa kasus kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan semata.

Padahal pengkategorian yang demikian ini tidak saja akan mengakibatkan pengurangan derajat tindak pidana yang dilakukan, namun juga berpengaruh pada pandangan bahwa kekerasan seksual hanyalah persoalan moralitas saja.


Selanjutnya, UU TPKS juga merubah fokus penanganan perkara yang sebelumnya hanya tertuju kepada penghukuman pelaku, melalui UU TPKS lebih berorientasi pada pemenuhan dan pemulihan hak-hak korban, yaitu diantaranya melalui ganti rugi dan pemulihan. Sebelum UU TPKS disahkan, pengaturan hukum mengenai hal tersebut tidak diatur secara spesifik.

Namun, setelah UU TPKS ini disahkan, pengaturan mengenai ganti kerugian dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual diatur secara spesifik dalam Pasal 30 sampai 38 UU TPKS dengan menggunakan istilah “restitusi”. Pasal 30 UU TPKS menyebutkan bahwa “Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan”.

Dengan demikian, UU TPKS adalah perwujudan hukum yang menjadi instrumen/alat untuk mengarahkan masyarakat menuju pada sasaran yang hendak dicapai yaitu keadilan bagi korban.
UU TPKS juga diharapkan dapat melepaskan perempuan di Indonesia dari budaya patriarki dengan dirumuskannya jenis-jenis kekerasan seksual yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP seperti pemaksaan perkawinan, baik dengan alasan budaya, pemaksaan perkawinan korban hasil kekerasan seksual dengan pelakunya, dan pemaksaan perkawinan terhadap anak sebagai tindak pidana.

Diharapkan pengaturan tesebut dapat mendobrak perbuatan demikian yang sebelumnya dianggap lazim, namun sesungguhnya bertentangan dengan hak asasi manusia dan selayaknya mendapatkan hukuman. Begitu juga dengan kebiasaan masyarakat yang mewajarkan pelecehan seksual non fisik bahkan dengan menyalahkan perilaku korbannya.

Dimana perempuan ditempatkan lebih rendah karena pilihannya dalam berpakaian atau bekerja misalnya dibandingkan dengan pelaku pelecehan itu sendiri. Semenjak UU TPKS mengatu mengenai pelecehan seksual non fisik dengan ancaman pidana terhadap pelakunya, terang bahwa pelaku perbuatan tersebut memang sudah selayaknya dihukum dan korban yang harus pendapatkan perlindungan, bukan sebaliknya. (*)

Sumber. Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Alumni, Bandung,1986, hal 110-111

  • Bagikan