Oleh: Dahlan Iskan
TIDAK bisa dimengerti: jelas-jelas ia menembaki teman-teman sekolahnya. Masih juga bisa menyatakan di depan hakim: merasa tidak bersalah. Empat siswa di SMA Oxford, Michigan, sampai tewas —tanggal 30 November lalu. Banyak lainnya luka-luka —termasuk seorang guru.
Ethan Crumbley,15 tahun, si penembak itu, tetap mengatakan tidak bersalah. Berarti akan ada sidang pengadilan untuk kasus ini. Akan dibentuk dewan juri: merekalah yang akan memutuskan Ethan bersalah atau tidak.
Bisa jadi proses pengadilannya panjang. Akan ada adu argumen rumit-nan-subjektif: soal kejiwaan. Jangan-jangan siswa kelas 2 SMA itu, Ethan Crumbley, hanya merasa hari itu ia lagi sekadar menembaki burung.
Anak remaja itu memang lagi depresi. Sejak enam bulan sebelumnya. Terutama sejak ditinggal teman satu-satunya yang ia punya.
Menurut harian Detroit News, enam bulan lalu itu, anjing Ethan mati. Ia sangat terpukul. Sejak itu Ethan sangat terobsesi untuk punya senjata. Rupanya orang tua Ethan tahu itu. Sebulan sebelum Nata, dibelikanlah pistol semiotomatis.
Sekalian sebagai hadiah Natal baginya. Lalu diajaklah sang anak ke lapangan tembak. Ia latihan menembak di situ. Hanya di arena seperti itu anak di bawah umur boleh memegang senjata api.
Saya juga tertarik pada fakta ini: Ethan menyimpan kepala burung di toples. Toples itu ia taruh di lantai di kamar rumahnya. Kepala burung itulah yang kemudian ditemukan di toilet sekolah —di hari penembakan. Rupanya Ethan membawanya ke sekolah.
Apakah burung itu yang dipakai uji coba pertama pistol barunya? Tapi mengapa burung? Apa hubungannya dengan kematian satu-satunya temannya itu?
Kematian teman itu pula kah yang membuat Ethan merasa hidupnya tidak lagi berguna? Ethan memang diketahui ‘curhat’ soal hidup yang tidak berguna tersebut.
Itu ditemukan di lembaran buku yang biasa dipakai mengerjakan PR untuk mata pelajaran matematika. Guru di SMA itu sempat mengabadikan goresan Ethan di HP sang guru.
Kini foto itu beredar luas di media. Jaksa cantik Karen McDonald menyertakan foto itu di berkas perkara. Lalu tersiar luas. Karen menyebutkan, seharusnya orang tua Ethan yang ambil peran besar.
Orang tua harus peduli dengan keadaan anaknya yang lagi depresi. Tapi orang tua justru membelikan senjata api. Pun tidak melaporkannya ke sekolah.
Padahal, bentuk hadiah Natal itu sangat berbahaya di tangan orang yang lagi depresi.
Kata Jaksa, orang tua Ethan harusnya punya waktu lebih banyak untuk anaknya. Tapi perhatian ayah Ethan lebih pada kuda-kudanya.
Ia lebih sering di kandang kuda. Sekali kunjungan bisa tiga jam di kandang itu. Demikian juga ibunda Ethan. Ternyata juga punya piaraan sendiri —seorang lelaki yang bukan suaminyi.
Di hari penembakan itu sang mama diketahui lagi komunikasi dengan si boyfriend. Kedua orang tua Ethan itu kini juga ditahan di penjara bagian barat kota Detroit. Tiga-tiganya ditahan di situ. Tidak bisa saling berkomunikasi.
Sidang pengadilan yang sekarang ini bukanlah sidang perkara pokok itu sendiri. Melainkan sidang khusus atas permintaan pembela orang tua Ethan. Yakni sidang masalah uang jaminan.
Orang tua Ethan menghendaki agar uang jaminan bisa turun dari masing-masing USD 500.000 ke USD 100.000. Jaksa berkeras tidak boleh ada penurunan uang jaminan. Orang tua Ethan itu mencurigakan. Bisa kabur. Ketika dicari mereka tidak ada di rumah. Pun sampai tanggal 3 Desember.
Akhirnya polisi memberi batas waktu menyerah sampai pukul 16.00 tanggal 3 Desember itu. Tidak lama setelah batas waktu itu, polisi mengumumkan: mulai melakukan pengejaran.
Juga mulai memasang “WANTED” (lihat foto). Bagi yang mengetahui keberadaan mereka polisi menawarkan hadiah sampai 10.000 dolar.
Pengumuman itu cepat menyebar —terutama soal USD 10.000 dolar.
Batas waktu itu pun lewat. Enam jam kemudian polisi menerima telepon dari seseorang: ia melihat wanita yang dicari polisi itu.
Malam itu si penelepon lagi mau parkir mobil di dekat kantornya. Tidak banyak mobil yang ada di area parkir itu. Ia melihat salah satunya merek KIA —seperti yang dicari polisi. Yakni KIA hitam baru (2021).
Si Penelepon tidak jadi parkir. Mobilnya ia putar dulu di situ: agar bisa memastikan KIA tersebut benar-benar yang dicari polisi. Benar. KIA Seltos SUV. Hari sudah malam. Hampir jam 23.00.
Dingin sekali, hanya saja tidak bersalju. Meski sudah gelap ia masih bisa memotret nomor polisi di mobil itu: pasti! Polisi menghubunginya. Untuk memastikan posisinya.
Bahkan Si Penelepon memberi info tambahan: “Wanita yang dimaksud ada di sebelah mobil. Lagi duduk,” katanya.
“Kepalanya ditutup tudung,” tambahnya.
Bagaimana ia bisa tahu? “Saya jalan memutari mobil itu,” jawabnya.
Setelah lewat pukul 00.00 polisi akhirnya datang ke lokasi parkir di sebuah gedung di Bellevue Street. Lokasi itu hanya 1 jam dari perbatasan Kanada.
Polisi mencurigai, malam itu James dan Jennifer Crumbley akan melarikan diri ke Kanada. Ia sudah mengambil uang dari ATM sebanyak USD 4.000. Ia juga punya uang lain USD 11.000. Kudanya sudah dijual. Rumahnya pun sudah ditawarkan untuk dilego.
Detektif sudah menghubungi pengacara James dan Jennifer Crumbley sejak tanggal 2 Desember siang. Nama pengacara itu: Shannon Smith. Seorang wanita.
Tanggal 3 Desember, Jumat siang, detektif kembali kontak pengacara. Tidak segera mendapat jawaban.
Rupanya Shannon lagi bersidang di pengadilan. Lewat pukul 17.00 barulah Shannon mengirim jawaban: “Saya baru keluar ruang sidang. HP saya penuh dengan 400 teks dan missed call. Hari ini hari gila,” jawab Shannon.
Dia seperti minta maaf tidak bisa cepat menjawab. Hari itu Shannon juga lagi sibuk soal rumah. Dia lagi menjual rumah. Hari itu adalah open house. Yakni jadwal bagi para peminat untuk melihat keadaan rumah —luar-dalam.
Di Amerika tidak sembarang waktu calon pembeli bisa melihat rumah yang dijual. Agen penjualan yang menentukan: tanggal berapa bisa datang. Jamnya pun ditentukan.
Biasanya jam 10.00 sampai 14.00. Saat open house itu tidak boleh ada orang dan binatang piaraan di rumah tersebut. Pemilik rumah juga dilarang di lokasi.
“Hari ini terpaksa empat anak saya dan anjing, saya bawa ke kantor,” tulisnyi. “Saya akan segera hubungi mereka agar menyerahkan diri,” tulis Shannon.
Click On Detroit, lewat produsernya, Kayla Clarke, menggambarkan sangat bagus jalannya dialog antara detektif dengan Shannon.
Detektif menjawab: kami senang kalau mereka segera menyerahkan diri, sehingga mereka bisa menghindari media. Tapi kalau sampai ditangkap mereka akan ditengkurapkan di tengah jalan. Kami berharap itu tidak terjadi. Dijamin.
Shannon membalas: saya tidak tahu di mana mereka sekarang. Tapi mereka bilang akan kembali untuk menyerahkan diri. Saya sudah melakukan pembicaraan telepon dengan mereka beberapa kali.
Besok jam 07.00 saya sampaikan hasil pembicaraan itu. Telepon James lagi kehabisan baterai. Tapi saya bisa bicara dengan Jennifer.
Detektif: OK saya mengerti. Tapi jalan terbaik dan tidak perlu ribut-ribut adalah menyerahkan diri. Shannon: thanks. Saya sudah beri tahu mereka seperti itu. Mereka akan lakukan. Itu sudah hampir jam 11 malam.
Detektif masih terus kirim teks: mereka harus tahu, kian lama menyerah akan kian tinggi uang jaminannya.
Shannon: pasti begitu. Saya ingin hari ini juga mereka menyerah. Tapi saya tidak bisa dapat info perkembangannya dengan cepat. Mereka awalnya ingin menyerah pada hari Senin pagi depan. Saya bilang, tidak. Detektif: Ok.
Anda kan sudah punya nomor saya. Ketika menjawab yang terakhir itu sang detektif baru saja mendapat info dari si penelepon. Info itu juga disampaikan ke Shannon.
Shannon: Saya belum berhasil kontak ke Jennifer. Apakah mereka sudah ditangkap? Detektif: belum. Tapi rasanya mereka semakin kedinginan. (Rupanya soal dingin inilah yang membuat mereka pindah ke parkir di gedung).
Akhirnya mereka ditangkap di gedung itu. Hari Jumat baru saja bergeser ke Sabtu 4 Desember.
Hakim masih belum memutuskan apakah permohonan mereka—untuk turun jadi 100.000 —akan dikabulkan. Sidang berikutnya baru dilakukan awal Januari depan. Libur. Libur. Libur —hanya Disway yang tidak. Dan Anda. (*)